Jokoji punya ratusan anak di Istanya yang sangat megah, namun diantara ratusan itu, ada 2 anak yang paling mencolok, Namanya Teloris dan Hate'i. Dua-duanya sama lulusan Universitas Timur, namun Hate'i sedikit berbeda karna banyak membaca referensi dari Barat. Mungkin inilah yang membuat mereka mencolok di antara saudara2nya yang hanya lulusan Univ. Nusantara.
Teloris dan Hate'i slalu membawa makanan khas dari luar negeri tempat dimana mereka kuliah untuk di santap bersama. Saudara2x tentu menikmati dan ketagihan, bagaimana tidak? Selain membuat perut mereka kenyang, makanan itu memberi sensasi seakan-akan mereka berada di suatu tempat indah dimana semua keinginan bisa terkabulkan. Namun bahayanya, tak sedikit dari mereka saling membunuh karna tak mampu untuk mengontrol diri.
Tapi semua itu tak berlangsung lama, sang Ayah pun kemudian tahu kelakuan anaknya setelah mendapat laporan dari pembantunya, Mpo Lisi. Jokoji tentu geram, ia kemudian menyita dan melarang makanan itu ada lagi di rumah. Bahkan tak segan2 Jokoji mengusir Teloris dan Hate'i dari rumah karna dianggap merusak kesehatan saudara2nya sehingga takut rumah tangganya akan hancur.
Selang 1 minggu kemudian. Cidut, anak angkat dan tertua diantara mereka protes kepada ayahnya. "Ayah, sudah 1 minggu adik2 saya kelaparan, semua makanan telah engkau sita, sedang engkau sendiri tak memberi kami makan. Apakah engkau ingin melihat kami mati kelaparan?" tuntut Cidut.
"Siapa bilang? Kau sebut apa Kacang Sila itu yang sejak kecil kalian makan. Bahkan sampai 1 minggu terakhir kalian tetap kuberi makan dengan itu" bantah Jokoji.
"makanan apa?" kata Cidut "Kacang Sila yang merupakan resep makanan legenda keluarga itu tak bisa Ayah hidangkan. Bahkan Ayah sendiri tak tahu cara mengolah dan memakannya. Apalagi kami? Selama ini Ayah memang hanya setengah hati memberi kami makan. Kacang Sila itu mau tak mau, terpaksa kami makan mentah-mentah. Akibatnya apa? Gizi dan nutrisinya tidak tercerna dengan baik. Lihatlah tubuh kami yang kurus dan kering ini. Kita ini keturunan Garuda Yah!! Bukan keturunan perkutut!! Makannya pun ya harus makanan Garuda!!. Dengan tergesa-gesa Ayah mengusir Teloris dan Hate'i yang memberi adik2ku makan. Sedang Ayah tak mampu memberi kami makanan alternatif. Meskipun aku tidak suka dengan makanan yang dibawa Teloris dan Hate'i, namun aku salut dengan mereka. Salut dengan militansinya, salut dengan keyakinan akan kelezatan makanan yang dia bawa, salut dengan metodologi dan strateginya mendoktrin kami dari kamar ke kamar, salut dengan konsistensi dan pendiriannya. Jadi wajar saja jika sebagian dari saudaraku memilih ikut dan meninggalkan menu Kacang Sila. Dari sudut pandang ini Teloris dan Hate'i lebih mulia dibanding Ayah dan saudara2 ayah yg tak jelas karakter dan pendiriannya. Bukan hanya itu, Ayah terlalu naif menyebut semua ini karna ingin menyelamatkan rumah tangga. Sedang Ayah tahu bahwa saudaraku Senokrat telah mencuri barang2 rumah ini, Pakde Ipe telah menjual aset2 rumah ini, Om Jolkar sering menerima suap dari tetangga, kalau untuk kebaikan rumah tangga, mengapa Ayah tidak mengusir mereka juga? Apa perlu saya sebut yang lain? Jangan lantaran mereka masih mendengar perintah lalu Ayah ragu mengusirnya. Atau jangan2 Ayah memang sudah tidak perduli lagi dengan kami dan rumah tangga ini? Kalau begitu mending kita bubar saja."
Jokoji hanya bisa terdiam mendengar keluhan Cidut. Namun jangan kira Jokoji akan berubah. Ia terlalu angkuh sebagai orang tua untuk mendengar Cidut dan mencontoh keteladanan Teloris dan Hate'i untuk membumikan Kacang Sila.
Kacang Sila adalah adalah makanan. Jika diolah dengan baik, tak perlu kita utarakan kelezatannya. Ia akan terlihat dari jiwa, tubuh, dan pikiran yang sehat bagi penikmatnya. Dengan begitu ia tak perlu lagi dipasarkan. Orang2 lah yang akan mencari. Tapi ingat, ini hanya terjadi di Negeri Dongeng.
Selasa, 31 Oktober 2017
Belajar dari Teloris dan Hate'i
Minggu, 29 Oktober 2017
Terpenjara Kata
Aku bukan ahli bahasa, bahkan berbahasa saja masih susah, mungkin ini alasan mengapa aku resah. Aku pemuda yang terlalu bodoh untuk mengerti kata, apalagi makna. Tidak seperti dengan manusia-manusia lain yang dengan mudah menerima, mencerna, dan memakainya.
Islam, kafir, khilafah, syar'i, sampai pribumi. Siapa pencipta kata ini? Siapa yang memberi makna kata ini? Apakah dia ciptakan kata ini menjadi milik sekelompok tertentu? Apakah dengan tujuan yang mulia atau memang alat perselisihan yang sangat ampuh?
Kata di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyaknya kata yang sering menjadi bahan perselisihan. Meskipun kata itu sendiri sebenarnya tidak ingin diperselisihkan. Ada yang saling menghujat, saling sikut, bahkan sejarah membuktikan ratusan ribu nyawa melayang hanya karna berbeda memaknai kata.
Dalam konteks keIndonesiaan tidak jauh berbeda, akhir-akhir ini gejala sosial memberi isyarat sejarah kelam peradaban akan terulang. Ormas, lembaga, kelompok, bahkan pemerintah, saling unjuk kekuatan untuk berebuk hak penggunaan kata, kalau perlu akan dipatenkan berdasarkan penafsiran mereka.
Islam misalnya, hanya karna sekelompok kecil yang melakukan aksi teror, maka dunia telah mengganggap Islam agama intoleran. Hanya karna yang memakai cadar dan bejenggot itu lebih syar'i maka yang diluar dari itu tidak mengikuti syariat. Hanya karna numpang tinggal dan ber-KTP Indonesia lantas menyebut diri mereka pribumi.
Celakanya, di tengah gejala ini tak sedikitpun dibarengi sikap kedewasaan dan keterbukaan dalam menerima kebenaran. Siapa yang mengklaim kata Islam dengan lantangnya menyebut yang lain bukan Islam. Siapa yang lebih menyebut dirinya Syar'i dengan bangganya menyebut yang lain tidak Syar'i bahkan saling mengkafirkan. Ada pula yang masuk kelompok tertentu agar bisa disebut syar'i dan tidak ingin dituduh kafir. Alih-alih menggaungkan kebebasan berpendapat justru malah membuat masyarakat terpenjara. Mungkin ini salah satu bukti bahwa kita slalu meminta kebebasan namun belum siap menerimanya.
Sekali lagi kukatakan bahwa aku terlalu bodoh untuk cepat mengerti dan memaknai kata, apalagi memakainya. Sehingga aku tidak berani menyebut diriku Islam, syar'i, pribumi, apalagi mengkafirkan orang lain. Bahkan sekalipun aku mengerti, tetap saja aku tidak berani menggunakan kata yang menjadi hak preogratif Tuhan itu.
Karna itu, sudah saatnya ahli bahasa mengambil mimbar dan memberi kejelasan. Mimbar yang memberi pesan kemanusiaan bukan pesan kebencian. Inilah saat dimana mereka memang harus banyak berbicara dan memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Tugas merekalah untuk meluruskan kata dalam menerjemahkan pesan Tuhan untuk meraih kemaslahatan dan menjegah kemungkaran. Jadilah satpam kata, sebelum kata itu kehilangan makna.
Senin, 09 Oktober 2017
"Menikmati" Kesalahan
Bad news is a good news" begitulah para filsuf menilai media massa hari ini. "Bad news" nya jelas kebohongan besar telah dilakukan Dwi. "Good news" nya? Itu terserah pembaca. Apakah beras yg masih mentah ini akan kita olah jadi apa? Jadi sokko kah? Jadi kaddo kah? Jadi tape kah? Ataukah hanya setengah matang? Lalu dengan lahap kita makan. Buktinya dengan respon netizen hari ini menguatkan slogan di atas. Dwi telah dicaci, dihujat, dihukum oleh universitasx, di hukum oleh bangsanya. Media telah berhasil membuat netizen "menikmati" kebohongan Dwi.
KPK mengungkap kebohongan si anu, jaksa mengungkapkan kebohongan si anu, polisi ungkap kebohongan si anu, lantas ini? Dwi mengungkapkan kebohongan Dwi. Minta maaf pula. Jika dibandingkan dengan papa sakti itu yang tidak tahu diri Dwi masih lebih terhormat. Apakah sudah tidak ada kesempatan bagi Dwi untuk memperbaiki diri?
Dwi telah jelas berbohong. Tapi tidakkah ia telah menyisakan cerita heroisme anak bangsa? Yang sangat ingin membuat negrinya bangga? Salahkah jika ia berimajinasi mampu menyaingi bangsa lain? Apakah salah jika kisahnya di filmkan toh film memang tidak selamanya harus nyata? Asalkan mampu memberi nilai pada penikmatnya?
Karna media dan respon netizen yang bertubi-tubi semoga saja tidak membuat mental dan semangat Dwi sesak sampai akhirnya mati. Kalaupun karna respon yang berlebih ini membuat Dwi mati ijinkanlah ia menulis surat wasiat sejenak "kepada saudara-saudaraku ilmuan dimanapun kalian berada. Di biayai negara ataupun tidak. Kutitipkan impian dan cita2 tinggiku ini untuk mengharumkan nama bangsa,"
Minggu, 08 Oktober 2017
Mak, Cidut tak Mau Dewasa
"Mak, Cidut tak mau dewasa" keluh Cidut sambil memeluk Emaknya. "Dut, kamu waras nak?" Balas Emaknya yang heran dengan perilaku Cidut yang tak biasa. Cidut pun tidak menjawab dan terus memeluk Emaknya.
Cidut lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga dan masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh tata krama kemanusiaan. Tak ada istilah kamu anak siapa, asalkan kamu berbuat salah semua orang tua di desa berhak menegurmu bahkan sedikit memberi cubitan. Dan hal ini lumrah diterima oleh semua penduduk desa. Beda halnya dengan kota di seberang sana, berucap saja kepada anak akan dipidana apabila tidak menyenangkan si anak, apalagi kepada anak orang lain. Karna malu ketika anaknya berbuat salah dan ditegur maka setiap orang tua di desa itu sangat disiplin dan berhati-hati dalam mendidik anak, tak terkecuali orang tua Cidut. Olehnya itu pendidikan di lingkup keluarga sangat dirasakan oleh semua anak-anak seperti Cidut.
Namun apa yang meresahkan Cidut? Di kota ini dia melihat adegan-adegan orang dewasa yang tidak biasa ia lihat, ia dengar, dan sangat susah ia terima.
Orang dewasa di kota ini dengan santainya saling berbicara kasar, memanggil dengan sebutan 4njing, a5u, ta1, dan sebutan lainnya yang dianggap akrab. Lebih parahnya lagi Cidut melihat mereka saling menerima dan seakan mesra. Begitu pula ia lihat para wakilnya berdebat silang pendapat mengacungkan tinju di layar kaca. Namun Cidut hanyalah anak desa, yang tahunya harus sopan bertutur kata kalaupun diperlakukan ia harus menegur bukan malah membalas dengan kata yang sama. Tiba-tiba saya teringat dengan perkataan Guru Spritualku, "dalam membalas perbuatan buruk seseorang agama hadir dengan keunikannya tersendiri. Yahudi hadir dengan mewajibkan membalas perbuatan seseorang. Kristiani hadir dengan nasehat "jika pipi kiri ditampar, maka tamparlah pipi kanan". Sedang Islam hadir dengan mengambil jangan tengah, engkau berhak untuk membalas, namun jika engkau bersabar engkau adalah orang yang mulia."
Orang dewasa di kota itu sangat lihai berbohong dan mencuri, semua untuk tujuan mereka agar cepat tercapai. Meskipun ketahuan, segera mereka intropeksi diri dengan mengatur kembali siasat baru agar bohong dan mencurinya tidak ketahuan lagi. Begitu pula yang ia lihat di layar kaca. Orang dewasa saling meneriakkan kata mutiara untuk berantas korupsi, keesokan harinya mereka terlihat memakai rompi. Bukannya malah meminta maaf dan menyesali, mereka dengan santai melambai-lambai dan berusaha melawan alat bukti. Dunia Cidut menjadi terbalik. Yang salah kadang dipertahankan dan yang berani berkata benar akan dikucilkan. Cidut pun pernah terpaksa berbohong, dengan polosnya ia ketahuan dan segera meminta maaf dan siap untuk dihukum. Sedang yang berani berkata jujur akan dihargai dan disayangi layaknya anak priyai. Mereka menganggap bisa menipu Allah dan Rasulnya, padahal mereka sedang menipu diri mereka sendiri.
Orang dewasa di kota itu hanya menghargai orang berduit, ia tunduk, peluk, dan tangannya ia cium. Ia lihat dengan mudah orang-orang berduit mulus dalam setiap urusan. Hukuman dan keadilan bisa ia beli. Sedang Cidut sedari kecil tidak diajarkan untuk menghargai orang hanya karna bermateri.
Orang dewasa di kota itu melihat kuasa adalah segalanya, sehingga dendam seakan-akan menjadi pertarungan yang abadi. Siapa yang berkuasa akan menjebloskan dan berusaha sebisa mungkin menghabisi yang kalah, begitupun drama kembali dipetontonkan ketika yang slama ini kalah menjadi penguasa. Sedang Cidut? Merindukan dirinya sewaktu kecil, memang sering ada perkelahian. Namun dendam tak sedalam itu. Terkadang pagi hari ia berkelahi sore harinya bermain bersama lagi. Tak pernah dendam itu di bawah sampai tidur.
Pada saat libur Idul Adha, kuliah pun diliburkan. Di perjalanan pulang Cidut teringat dengan perkataan Emak, "Nak, kulepas engkau ke kota, semoga engkau segera dewasa". Cidut pun mulai ragu bisa mewujudkan harapan Emak dari kondisi kota yang dilihatnya. Dalam hati ia bergumam "kalau memang dewasa harus seperti itu, aku lebih baik menjadi anak kecil dengan segala kepolosanku."
Namun perlahan Cidut mulai mengerti. Dengan terasingkan di tengah keadaan kota itu, ia justru terlatih dan akan dewasa dengan caranya sendiri. Ia akan dewasa tanpa kehilangan kekanak-kanakannya. Dan Emak tak akan pernah kubuat hilang pengharapan. Sesungguhnya hanya orang kafir yang menghilangkan pengharapan dariNya.
Jumat, 06 Oktober 2017
Bangkitlah Garudaku
Negeri salah urus.
Negeri salah didik.
Negeri salah tuan.
.
Lihatlah anak-anak Garuda hari ini. Tak tahu siapa yg mengurusnya, ataukah memang ada yg mengurusnya?
Tak tahu kemana harus mencari panutan, karna apakah memang ada yg layak jadi panutan?
Anak-anak Garuda telah DIyatimKAN.
.
Namun ditahun 2019
Anak-anak Garuda akan tumbuh dewasa.
Tepat 5 tahun lamanya mereka berpuasa dari kuasa.
Tepat 5 tahun lamanya mereka bersabar dari makar, dari kudeta, dari revolusi.
.
Di hari itu, Sang Garuda akan berteriak. "Kita ini jelas2 bangsa Garuda, bukan bangsa gagak, bukan pula bangsa perkutut. Maka kami hanya akan mau dipimpin oleh Garuda. Kembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Garuda."
.
Garuda bukanlah pecundang. Bagaimanapun sarangnya rusak ia akan dengan mesra memperbaiki dan tetap tinggal.
Bagaimanapun selama ini dihinakan ia tidak akan berbuat onar. Namun karna mereka telah kelewat batas. Jangankan sesama burung, 9 naga pun akan dia cengkram dan membiarkannya busuk di lautan.


