"Mak, Cidut tak mau dewasa" keluh Cidut sambil memeluk Emaknya. "Dut, kamu waras nak?" Balas Emaknya yang heran dengan perilaku Cidut yang tak biasa. Cidut pun tidak menjawab dan terus memeluk Emaknya.
Cidut lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga dan masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh tata krama kemanusiaan. Tak ada istilah kamu anak siapa, asalkan kamu berbuat salah semua orang tua di desa berhak menegurmu bahkan sedikit memberi cubitan. Dan hal ini lumrah diterima oleh semua penduduk desa. Beda halnya dengan kota di seberang sana, berucap saja kepada anak akan dipidana apabila tidak menyenangkan si anak, apalagi kepada anak orang lain. Karna malu ketika anaknya berbuat salah dan ditegur maka setiap orang tua di desa itu sangat disiplin dan berhati-hati dalam mendidik anak, tak terkecuali orang tua Cidut. Olehnya itu pendidikan di lingkup keluarga sangat dirasakan oleh semua anak-anak seperti Cidut.
Namun apa yang meresahkan Cidut? Di kota ini dia melihat adegan-adegan orang dewasa yang tidak biasa ia lihat, ia dengar, dan sangat susah ia terima.
Orang dewasa di kota ini dengan santainya saling berbicara kasar, memanggil dengan sebutan 4njing, a5u, ta1, dan sebutan lainnya yang dianggap akrab. Lebih parahnya lagi Cidut melihat mereka saling menerima dan seakan mesra. Begitu pula ia lihat para wakilnya berdebat silang pendapat mengacungkan tinju di layar kaca. Namun Cidut hanyalah anak desa, yang tahunya harus sopan bertutur kata kalaupun diperlakukan ia harus menegur bukan malah membalas dengan kata yang sama. Tiba-tiba saya teringat dengan perkataan Guru Spritualku, "dalam membalas perbuatan buruk seseorang agama hadir dengan keunikannya tersendiri. Yahudi hadir dengan mewajibkan membalas perbuatan seseorang. Kristiani hadir dengan nasehat "jika pipi kiri ditampar, maka tamparlah pipi kanan". Sedang Islam hadir dengan mengambil jangan tengah, engkau berhak untuk membalas, namun jika engkau bersabar engkau adalah orang yang mulia."
Orang dewasa di kota itu sangat lihai berbohong dan mencuri, semua untuk tujuan mereka agar cepat tercapai. Meskipun ketahuan, segera mereka intropeksi diri dengan mengatur kembali siasat baru agar bohong dan mencurinya tidak ketahuan lagi. Begitu pula yang ia lihat di layar kaca. Orang dewasa saling meneriakkan kata mutiara untuk berantas korupsi, keesokan harinya mereka terlihat memakai rompi. Bukannya malah meminta maaf dan menyesali, mereka dengan santai melambai-lambai dan berusaha melawan alat bukti. Dunia Cidut menjadi terbalik. Yang salah kadang dipertahankan dan yang berani berkata benar akan dikucilkan. Cidut pun pernah terpaksa berbohong, dengan polosnya ia ketahuan dan segera meminta maaf dan siap untuk dihukum. Sedang yang berani berkata jujur akan dihargai dan disayangi layaknya anak priyai. Mereka menganggap bisa menipu Allah dan Rasulnya, padahal mereka sedang menipu diri mereka sendiri.
Orang dewasa di kota itu hanya menghargai orang berduit, ia tunduk, peluk, dan tangannya ia cium. Ia lihat dengan mudah orang-orang berduit mulus dalam setiap urusan. Hukuman dan keadilan bisa ia beli. Sedang Cidut sedari kecil tidak diajarkan untuk menghargai orang hanya karna bermateri.
Orang dewasa di kota itu melihat kuasa adalah segalanya, sehingga dendam seakan-akan menjadi pertarungan yang abadi. Siapa yang berkuasa akan menjebloskan dan berusaha sebisa mungkin menghabisi yang kalah, begitupun drama kembali dipetontonkan ketika yang slama ini kalah menjadi penguasa. Sedang Cidut? Merindukan dirinya sewaktu kecil, memang sering ada perkelahian. Namun dendam tak sedalam itu. Terkadang pagi hari ia berkelahi sore harinya bermain bersama lagi. Tak pernah dendam itu di bawah sampai tidur.
Pada saat libur Idul Adha, kuliah pun diliburkan. Di perjalanan pulang Cidut teringat dengan perkataan Emak, "Nak, kulepas engkau ke kota, semoga engkau segera dewasa". Cidut pun mulai ragu bisa mewujudkan harapan Emak dari kondisi kota yang dilihatnya. Dalam hati ia bergumam "kalau memang dewasa harus seperti itu, aku lebih baik menjadi anak kecil dengan segala kepolosanku."
Namun perlahan Cidut mulai mengerti. Dengan terasingkan di tengah keadaan kota itu, ia justru terlatih dan akan dewasa dengan caranya sendiri. Ia akan dewasa tanpa kehilangan kekanak-kanakannya. Dan Emak tak akan pernah kubuat hilang pengharapan. Sesungguhnya hanya orang kafir yang menghilangkan pengharapan dariNya.
Minggu, 08 Oktober 2017
Mak, Cidut tak Mau Dewasa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar