“Biar
telanjangko, biar berapa massa mu bawakan, nda bakalan na trima tuntutanmu pak
rektor.” Ucapan ini sontak membuat semangat kawan-kawan untuk berjuang sempat
kendur. Ditambah dengan intervensi dari birokrasi yang menekan sana-sini yang
merupakan imbas dari aksi sebelumnya. Namun sebagai sesama fungsionaris LK
sudah kewajiban untuk harus saling
menyemangati. Meskipun kami sudah memprediksi bahwa jumlah massa yang akan
bergabung nantinya lebih sedikit dari massa aksi sebelumnya. Namun hari telah
ditetapkan, Rabu 26 September 2017, berapapun jumlah massa aksi yang tergabung
rencana tetap dilaksanakan.
Seperti
biasa sebelum berangkat mengikuti aksi-aksi demonstrasi, kusempatkan untuk
selalu berdo’a di sudut kamar sempitku ini. Kalaupun ada waktu kusempatkan
untuk mengambil air wudhu dan mendirikan 2 rakaat shalat Sunnah. “Selamatkanlah
massa aksi kami, selamatkanlah polisi kami, selamatkanlah pimpinan kami”.
Kututup shalatku dengan doa tersebut. Sampai hari inipun aku masih bingung,
siapa yang mengajariku seperti ini?
Kami
berkumpul sekitar jam 10 pagi, karna sedikit kendala acara aksi baru bisa
dimulai jam 2 siang. Tepatnya di tengah jalan AP.Pettarani depan kampus pinisi.
Satu persatu kawan-kawan berorasi dengan suara yang lantang dan tegas meskipun
disana-sini reporter gadungan mengabadikan gambar yang karna jasanya
wajah-wajah orator sampai ke smartphone birokrasi. Namun tidak sedikitpun ragu
kulihat dan kudengar dari orator-orator kita. Sesekali orasi ilmiah diselingi
dengan nyanyian atau puisi. Damai sekali hari itu, pengguna jalan dan polisi
ikut menikmati.
Satu
jam lebih massa bergantian orasi sembari menunggu pimpinan untuk menemui kami
namun mereka tetap saja berdiam diri
menatap dari kejauhan. Aku mulai cemas, semoga saja kami tidak dibiarkan sampai
polisi kemudian membubakarkan. Kecemasakanku buyar ketika moderator memanggilku
untuk naik ke mimbar aksi. “Ya.. selanjutnya kami undang mantan presiden BEM
FMIPA UNM untuk menyampaikan orasinya”. Apa yang mau saya sampaikan? Aspirasiku
sudah terwakilkan oleh orator-orator sebelumku. Aku terus berpikir sembari
menaiki mimbar aksi.
“Kawan-kawanku
sekalian. Allah telah menjanjikan bahwa Allah takkan merubah keadaan suatu kaum
kecuali kaum itu yang mengubahnya sendiri. Jangan patah semangat, Insya Allah
setiap keringat kawan-kawanku sekalian akan bernilai ibadah disisi-Nya. Hari
ini kita akan menang..!!”. Spontan kubuka kalimat orasiku dengan ucapan itu dan
kututup dengan salam setelah 3 menit berbicara, saya kemudian kembali ke barisan massa aksi.
Tidak
lama kemudian Rektor siap menemui dan berdialog dengan massa aksi. Alhasil
tuntutan mahasiswa kemudian dikabulkan. Sontak massa aksi berdiri dan berteriak
merayakan kemenangan. Mahasiswa, polisi, dan birokrasi kemudian bersalam-salaman
yang mempertegas damainya hari itu.
Dengan
senyum-senyum sendiri kurebahkan tubuhku di atas kasur antikku. Dalam hati aku
bergumam “Andai saja tuntutan hari ini tidak dikabulkan, Engkau akan berhasil
membuatku malu di hadapan ratusan temanku yang telah kujanjikan kemenangan
dengan ayatMu. Tapi sebanarnya aku pun yakin bahwa Engkau pun tidak mau malu
dihadapan hambaMu ini”. Dan andai saja aku mampu mendengar suaraMu Engkau pasti
akan membalas “Daripada kau dan teman-temanmu nekad untuk aksi telanjang, lebih
baik cepat-cepat Kukabulkan doamu. Aku akan lebih malu dilihat malaikat punya
hamba sepertimu”
Aksi
demonstrasi bagiku adalah perjalanan spiritual. Di jalanan aku berharap aku
akan lebih dekat denganNya. Karna bukankah Dia ada dimana-dimana? Aku tidak
mengatakan aksi ini berhasil berkat doa ku, namun biarlah aku belajar dengan
caraku sendiri.

0 komentar:
Posting Komentar