Minggu, 29 Oktober 2017

Terpenjara Kata

   Aku bukan ahli bahasa, bahkan berbahasa saja masih susah, mungkin ini alasan mengapa aku resah. Aku pemuda yang terlalu bodoh untuk mengerti kata, apalagi makna. Tidak seperti dengan manusia-manusia lain yang dengan mudah menerima, mencerna, dan memakainya.
   Islam, kafir, khilafah, syar'i, sampai pribumi. Siapa pencipta kata ini? Siapa yang memberi makna kata ini? Apakah dia ciptakan kata ini menjadi milik sekelompok tertentu? Apakah dengan tujuan yang mulia atau memang alat perselisihan yang sangat ampuh?
     Kata di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyaknya kata yang sering menjadi bahan perselisihan. Meskipun kata itu sendiri sebenarnya tidak ingin diperselisihkan. Ada yang saling menghujat, saling sikut, bahkan sejarah membuktikan ratusan ribu nyawa melayang hanya karna berbeda memaknai kata.
    Dalam konteks keIndonesiaan tidak jauh berbeda, akhir-akhir ini gejala sosial memberi isyarat sejarah kelam peradaban akan terulang. Ormas, lembaga, kelompok, bahkan pemerintah, saling unjuk kekuatan untuk berebuk hak penggunaan kata, kalau perlu akan dipatenkan berdasarkan penafsiran mereka.
   Islam misalnya, hanya karna sekelompok kecil yang melakukan aksi teror, maka dunia telah mengganggap Islam agama intoleran. Hanya karna yang memakai cadar dan bejenggot itu lebih syar'i maka yang diluar dari itu tidak mengikuti syariat. Hanya karna numpang tinggal dan ber-KTP Indonesia lantas menyebut diri mereka pribumi. 
   Celakanya, di tengah gejala ini tak sedikitpun dibarengi sikap kedewasaan dan keterbukaan dalam menerima kebenaran. Siapa yang mengklaim kata Islam dengan lantangnya menyebut yang lain bukan Islam. Siapa yang lebih menyebut dirinya Syar'i dengan bangganya menyebut yang lain tidak Syar'i bahkan saling mengkafirkan. Ada pula yang masuk kelompok tertentu agar bisa disebut syar'i dan tidak ingin dituduh kafir. Alih-alih menggaungkan kebebasan berpendapat justru malah membuat masyarakat terpenjara. Mungkin ini salah satu bukti bahwa kita slalu meminta kebebasan namun belum siap menerimanya.
     Sekali lagi kukatakan bahwa aku terlalu bodoh untuk cepat mengerti dan memaknai kata, apalagi memakainya. Sehingga aku tidak berani menyebut diriku Islam, syar'i, pribumi, apalagi mengkafirkan orang lain. Bahkan sekalipun aku mengerti, tetap saja aku tidak berani menggunakan kata yang menjadi hak preogratif Tuhan itu.
      Karna itu, sudah saatnya ahli bahasa mengambil mimbar dan memberi kejelasan. Mimbar yang memberi pesan kemanusiaan bukan pesan kebencian. Inilah saat dimana mereka memang harus banyak berbicara dan memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Tugas merekalah untuk meluruskan kata dalam menerjemahkan pesan Tuhan untuk meraih kemaslahatan dan menjegah kemungkaran. Jadilah satpam kata, sebelum kata itu kehilangan makna.
    


TSAURI

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

 
biz.