Senin, 28 Mei 2018

Fundamentalisme Fakta

Innalillahi Wainnalillahi Rajiun.
Turut berduka atas meninggalnya kawan kita, saudari Ilmi. Ia meninggal dalam keadaan mengenaskan setelah dikeroyok diseluruh bagian tubuhnya dan di buang di tempat sampah.

Ia dibunuh oleh orang yg seharusnya merawatnya, memelihara dan membesarkannya. Mengapa? Karna ia melawan, berpotensi mengungkap kebenaran, membuka aib2 jika ia diberi ruang. Akhirnya sebisa mungkin selama hidupx ia tdk pernah diperkenalkan. Kalau saudara2 blm kenal, nama lengkapnya "Ilmiah". Ia anak dari pendidikan.

Masih hangatnya "tidak usah kuliah kalau tidak punya uang" kembali berdengung di telinga kita dri sudut salah satu universitas ternama di Makassar. Mengapa sya katakan kembali? Karna memang selama ini kalimat dengan makna yang sama sudah sering kita dengar dari mulut pendusta. Itu baru yg terucap, belum terhitung dri mereka yg berpikiran sama namun hanya bergumam dalam hati.

Apakah kalimat itu benar atau salah? Satu2nya jalan menemukan kebenaran itu adalah sikap ilmiah. Bertanya, temukan data, analisis dan tariklah kesimpulan sehingga mampu dipertanggungjawabkan. Apakah mahasiswa telah melakukan itu? Jawabannya adalah ya, mereka telah memiliki semua syarat itu. Namun dimana letaknya kebenaran? Kebenaran itu dgn secara terorganisir ditutupi oleh otak fundamantal fakta.

Kampus telah kehilangan sikap ilmiahx, lihat saja mahasiswa yg bertanya tentang ukt, tentang praktikum, tentang pelajaran sekalipun dgn segala dalihnya agar potensi bertanya itu dibungkam. Lihat saja mahasiswa yg ingin mengajukan data ukt, dana lk, dsb dengan mudahnya dituduh data yg keliru tanpa terlebih dulu dipahami.

Kampus telah kehilangan budaya intelektualnya. Ibarat badan yang kehilangan jiwa maka ia tdk akan punya potensi untuk bergerak (mati). Jujur terhadap data, terbuka akan kritik, diuji coba berulang2, mahasiswa telah lama siap mempertanggungjawabkan itu. Ayolah, Sekali lagi, apa betul "jangan kuliah kalau tdk punya uang"?

Selama ini, aku berpikir bahwa fundamentalisme hanya menjangkit tubuh beberapa agama, dgn tdk memberikan ruang pada penafsiran kitab suci. Ternyata, diam2 fenomena ini menjangkit institusi pendidikan. Tdk terbukanya ruang bertanya dan bertarung data sehingga melahirkan tafsir tunggal. Beginilah kebenaran akhirnya menjadi kuasa dan milik penguasa. Aku menyebutnya "fundamentalisme fakta".

 
biz.