Suasana bulan Ramadhan tahun ini sangat berbeda. Sampai-sampai orang tua kita mengatakan "seumur hidup, baru kali ini saya mendapati bulan Ramadhan seperti ini". Ramadhan seperti apakah itu? Ramadhan tanpa tarwih berjamaah, tanpa buka buasa bersama, tanpa pengajian bersama, bahkan ada yang tanpa bersama keluarga karna larangan mudik. Semua dikarenakan antisipasi terhadap penyebaran wabah Covid-19. Lalu, pantaskah umat Islam bersedih?
Sekitar 1410 tahun yang lalu menurut penanggalan masehi. Di bulan Ramadhan, tepatnya di malam ke-17. Nabi penutup dari segala nabi, Muhammad SAW. Di usianya yang ke 40 tahun, beliau menerima wahyu pertamanya di dalam gua. Gua yang dalam keadaan gelap, sunyi, sepi, jauh dari hiruk pikuk kota. Gua itu 40 meter di bawah puncak gunung di ketinggian 640 meter. Gunung dengan perhiasan batu cadas dan tebing yang curam. Jaraknya 5,24 km di sebelah barat laut kota Mekah, 8.388 km dari Indonesia. Gua itu adalah Gua Hira di "gunung cahaya" atau Jabal Nur.
Peristiwa itu bermula ketika Rasulullah resah dengan tingkah laku masyarakat Mekkah pada saat itu yang sudah melewati batas. Ada pula beberapa riwayat yang mengatakan bahwa beliau memang gemar berkhalwat. Terkadang beliau berkhalwat selama 10 malam, adakalanya lebih dari sebulan. Sesekali kembali ke rumah untuk menyiapkan bekal berkhalwat. Selama berkhalwat beliau banyak beribadah, bertafakkur, merenungi segala persoalan, mengingat kebesaran Sang Pencipta yang Maha Penolong bagi manusia yang serba tak berdaya.
Bukan hanya nabi, manusia biasa seperti kita sekalipun terkadang membutuhkan kesunyian. Mengasingkan diri sesaat dari rutinitas. Ingin merasakan ketenangan dan tak ingin diganggu oleh siapapun. Terutama saat menghadapi suatu persoalan yang besar. Jadi, berkhalwat secara prinsipil sudah menjadi tabiat manusia.
Tibalah pada peristiwa yang bersejarah, ketika Rasulullah menerima wahyu pertama melalui perantara malaikat Jibril. "Bacalah", apakah yang harus dibaca oleh Nabi yg Ummi? Nabi yang tak bisa membaca dan menulis? "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan". Kata menciptakan mengisyaratkan akan adanya ciptaan dan pencipta. Singkatnya, kita diminta untuk mendekati, mengenali, meneliti, tanda-tanda (simbol) ciptaan. Yaitu manusia, alam semesta beserta penciptanya. "Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." Jadi dapat dipahami bahwa peristiwa di Gua Hira itu bukan hanya peristiwa spiritual, namun ada aspek intelektual yang ditekankan pula.
Apakah wahyu itu yaitu Al-Qur'an hanya untuk diri Rasulullah saja? Tidak. Tugas berat nan mulia menanti beliau. Yaitu mendakwahkan pesan Tuhan kepada seluruh umat manusia. Sebagaimana yang akrab ditelinga kita dalam potongan kalimat pembuka sambutan "yang membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang." Begitulah perjalanan Rasulullah yang berawal dari transformasi individual menuju transformasi sosial.
Di tengah mewabahnya pandemi Covid-19 yang berpapasan dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah SWT seakan-akan menggiring kita untuk meneladani perilaku Rasulullah dalam berkhalwat. Yaitu menjauhkan diri dari keramaian, serta menghentikan segala rutinitas kita. Tentu semua itu dilakukan hanya untuk sementara waktu.
Kini musibah wabah telah menjadi berkah. Berkah berupa waktu luang. Jika kita jeli menangkap tanda-tanda. Jadikan rumah kita sebagai Gua Hira kita masing-masing. Tentu bukan untuk menerima wahyu. Namun untuk sejenak merefleksikan diri, memikirkan dan merenungi kekeliruan selama ini untuk diperbaiki. Membiasakan diri meluangkan waktu untuk bertafakkur, mengingat kebesaran Dzat yang lebih berkuasa dari kuasa manusia.
Setelah wabah Covid-19 pergi, kita akan keluar dari Gua Hira kita masing-masing dengan pribadi yang baru. Berharap lebih matang secara spiritual maupun intelektual. Sekali lagi, bertransformasi secara individual menuju transformasi sosial. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar