Kamis, 30 April 2020

Rumahku Gua Hiraku

Suasana bulan Ramadhan tahun ini sangat berbeda. Sampai-sampai orang tua kita mengatakan "seumur hidup, baru kali ini saya mendapati bulan Ramadhan seperti ini". Ramadhan seperti apakah itu? Ramadhan tanpa tarwih berjamaah, tanpa buka buasa bersama, tanpa pengajian bersama, bahkan ada yang tanpa bersama keluarga karna larangan mudik. Semua dikarenakan antisipasi terhadap penyebaran wabah Covid-19. Lalu, pantaskah umat Islam bersedih?

Sekitar 1410 tahun yang lalu menurut penanggalan masehi. Di bulan Ramadhan, tepatnya di malam ke-17. Nabi penutup dari segala nabi, Muhammad SAW. Di usianya yang ke 40 tahun, beliau menerima wahyu pertamanya di dalam gua. Gua yang dalam keadaan gelap, sunyi, sepi, jauh dari hiruk pikuk kota. Gua itu 40 meter di bawah puncak gunung di ketinggian 640 meter.  Gunung dengan perhiasan batu cadas dan tebing yang curam. Jaraknya 5,24 km di sebelah barat laut kota Mekah, 8.388 km dari Indonesia. Gua itu adalah Gua Hira di "gunung cahaya" atau Jabal Nur.

Peristiwa itu bermula ketika Rasulullah resah dengan tingkah laku masyarakat Mekkah pada saat itu yang sudah melewati batas. Ada pula beberapa riwayat yang mengatakan bahwa beliau memang gemar berkhalwat. Terkadang beliau berkhalwat selama 10 malam, adakalanya lebih dari sebulan. Sesekali kembali ke rumah untuk menyiapkan bekal berkhalwat. Selama berkhalwat beliau banyak beribadah, bertafakkur, merenungi segala persoalan, mengingat kebesaran Sang Pencipta yang Maha Penolong bagi manusia yang serba tak berdaya.

Bukan hanya nabi, manusia biasa seperti kita sekalipun terkadang membutuhkan kesunyian. Mengasingkan diri sesaat dari rutinitas. Ingin merasakan ketenangan dan tak ingin diganggu oleh siapapun. Terutama saat menghadapi suatu persoalan yang besar. Jadi, berkhalwat secara prinsipil sudah menjadi tabiat manusia.

Tibalah pada peristiwa yang bersejarah, ketika Rasulullah menerima wahyu pertama melalui perantara malaikat Jibril. "Bacalah", apakah yang harus dibaca oleh Nabi yg Ummi? Nabi yang tak bisa membaca dan menulis? "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan". Kata menciptakan mengisyaratkan akan adanya ciptaan dan pencipta. Singkatnya, kita diminta untuk mendekati, mengenali, meneliti, tanda-tanda (simbol) ciptaan. Yaitu manusia, alam semesta beserta penciptanya. "Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." Jadi dapat dipahami bahwa peristiwa di Gua Hira itu bukan hanya peristiwa spiritual, namun ada aspek intelektual yang ditekankan pula.

Apakah wahyu itu yaitu Al-Qur'an hanya untuk diri Rasulullah saja? Tidak. Tugas berat nan mulia menanti beliau. Yaitu mendakwahkan pesan Tuhan kepada seluruh umat manusia. Sebagaimana yang akrab ditelinga kita dalam potongan kalimat pembuka sambutan "yang membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang." Begitulah perjalanan Rasulullah yang berawal dari transformasi individual menuju transformasi sosial.

Di tengah mewabahnya pandemi Covid-19 yang berpapasan dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah SWT seakan-akan menggiring kita untuk meneladani perilaku Rasulullah dalam berkhalwat. Yaitu menjauhkan diri dari keramaian, serta menghentikan segala rutinitas kita. Tentu semua itu dilakukan hanya untuk sementara waktu.

Kini musibah wabah telah menjadi berkah. Berkah berupa waktu luang. Jika kita jeli menangkap tanda-tanda. Jadikan rumah kita sebagai Gua Hira kita masing-masing. Tentu bukan untuk menerima wahyu. Namun untuk sejenak merefleksikan diri, memikirkan dan merenungi kekeliruan selama ini untuk diperbaiki. Membiasakan diri meluangkan waktu untuk bertafakkur, mengingat kebesaran Dzat yang lebih berkuasa dari kuasa manusia.

Setelah wabah Covid-19 pergi, kita akan keluar dari Gua Hira kita masing-masing dengan pribadi yang baru. Berharap lebih matang secara spiritual maupun intelektual. Sekali lagi, bertransformasi secara individual menuju transformasi sosial. Semoga.

Kamis, 23 April 2020

Pentingnya Penyaluran Bantuan Satu Pintu

"Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir". Kalimat bijak dari menantu sekaligus sahabat Rasulullah SAW, Ali bin Abu Thalib RA masih sangat relevan untuk kita pakai saat ini. Terutama untuk melawan penyebaran virus Corona atau Covid-19.

Kita sudah ketahui bersama, bahwa efek dari pandemi Covid-19 bukan hanya persoalan kesehatan manusia, namun tidak kalah pentingnya juga adalah persoalan ekonomi masyarakat. Sejak himbauan pemerintah agar masyarakat tetap di rumah dan membatasi aktivitas, maka tidak sedikit dari saudara kita yang penghasilannya terganggu. Terutama mereka yang bekerja dengan memanfaatkan relasi banyak orang, seperti ojol, pedagang pasar, sopir angkot, buruh, dan masih banyak lagi.

Situasi saat ini ibarat buah simalakama bagi mereka. Bertahan di rumah tapi tak ada penghasilan atau tetap keluar rumah dengan ancaman virus. Tentu kita menginginkan agar saudara kita tetap di rumah. Namun perlu pula diperhatikan kebutuhan hidup sehari-hari mereka yang terdampak.

Dan kita patut bersyukur, sampai hari ini begitu ramai organisasi masyarakat, yayasan, pribadi, lembaga mahasiswa, dan lain-lainnya membuka donasi bantuan untuk mereka yang terdampak. Begitu ramai pula bantuan tersalurkan kepada masyarakat. Ada yang memberi masker gratis, sembako, sampai uang tunai. Bukti bahwa masyarakat masih memiliki kepedulian satu sama lain. Apakah sudah cukup? Tidak.

Kita perlu naik satu tingkat lagi. Yaitu mengalahkan kejahatan Covid-19 dengan mengorganisir kebaikan, khususnya mengorganisir bantuan. Mengapa itu perlu?

Penyaluran bantuan yang tidak teroganisir, apakah itu di pusat atau di daerah bisa saja tidak merata. Sehingga memungkinkan masyarakat yang terdampak ada yang kelebihan bantuan ada pula yang tidak mendapatkan sama sekali.

Bagaimana solusinya? Pusatkan seluruh penyaluran bantuan kemanusiaan melalui koordinasi satu pintu. Dalam hal ini, tim gugus pencegahan penyebaran Covid-19 di tingkat daerah menjadi alternatif yang paling tepat. Sederhananya, ormas, lembaga, pribadi, yayasan, yang memiliki bantuan yang berbeda-beda dapat menyalurkan bantuan sesuai arahan tim gugus di setiap daerah. Di kecamatan manakah, kelurahan apakah, desa apakah, RT/RW berapakah, bantuan tersebut seharusnya disalurkan.

Apakah sudah cukup? Belum. Diperlukan pendataan yang cepat dan akurat terkait siapa saja korban dampak yang layak menerima bantuan. Maka kini, giliran RT/RW lah yang memegang peranan penting untuk melakukan pendataan. Belum pernah RT/RW menerima tugas sepenting ini, padahal dia yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan begitu pendataan bisa lebih cepat serta akurat. RT/RW seharusnya memiliki akses langsung kepada tim gugus untuk melaporkan segala hal.

Mari kita terus berikhtira dengan usaha yang maksimal dan berdoa. Dengan kebaikan yang terorganisir, semoga segala kejahatan segera berlalu. Saat ini rasionalitas dan mentalitas manusia sedang diuji. Semoga kita termasuk orang yang lulus ujian tersebut.


Senin, 04 Juni 2018

Kesempitan Epistimologi

Bukan Prabowo maka Jokowi. Bukan Partai Tuhan maka Partai Setan. Bukan Islam maka kafir. Tidak bela Palestina maka tidak Islam. Bukan Sunni maka Syah. Jika Khilafah maka anti Pancasila. Bukan Kapital maka Komunis. Bukan NU maka Muhammadiyah. Bukan Amerika maka Cina. Bukan 1 maka 2, bukan 2 maka 1.

Kita sudah bisa menerka, kemana arah masa depan masyarakat Ilmiah ketika kesimpulan2 di atas secara sadar atau tidak menjadi pijakan bernalar manusia pada umumnya. Hebatnya lagi, kesempitan epistimologi seperti ini lebih sering kita jumpai di layar kaca atau media2 pemberita. Diucapkan dgn gamblang oleh orang2 yang di cap sebagai pemimpin. Mereka menunjukkan bahwa fundamentalisme bukan hanya menjangkit agama, namun mereka jg yang fundamental terhadap opini masing2 yg berujung pada sakralisasi ibarat mitos. Akhirnya para penikmat yang malas berpikir namun banyak berbicara secara diam2 digerogoti kesempitan itu.

Opini dengan mudah dijungkirbalikkan, orang pintar berbicara sesuai pesanan, meraup popularitas dgn mempermainkan iman. Sampai2 Kata "Tuhan" menjadi kemehahan perseorangan. Hidup menjadi sebatas hitam dan putih, sedang masih banyak kemungkinan adanya warna2 yang lain. Hidup hanya sebatas iman dan kafir, sedang masih ada munafik, fasik, dll.

Setelah 35 tahun berpuasa, beginikah cara generasi orba berbuka?

Senin, 28 Mei 2018

Fundamentalisme Fakta

Innalillahi Wainnalillahi Rajiun.
Turut berduka atas meninggalnya kawan kita, saudari Ilmi. Ia meninggal dalam keadaan mengenaskan setelah dikeroyok diseluruh bagian tubuhnya dan di buang di tempat sampah.

Ia dibunuh oleh orang yg seharusnya merawatnya, memelihara dan membesarkannya. Mengapa? Karna ia melawan, berpotensi mengungkap kebenaran, membuka aib2 jika ia diberi ruang. Akhirnya sebisa mungkin selama hidupx ia tdk pernah diperkenalkan. Kalau saudara2 blm kenal, nama lengkapnya "Ilmiah". Ia anak dari pendidikan.

Masih hangatnya "tidak usah kuliah kalau tidak punya uang" kembali berdengung di telinga kita dri sudut salah satu universitas ternama di Makassar. Mengapa sya katakan kembali? Karna memang selama ini kalimat dengan makna yang sama sudah sering kita dengar dari mulut pendusta. Itu baru yg terucap, belum terhitung dri mereka yg berpikiran sama namun hanya bergumam dalam hati.

Apakah kalimat itu benar atau salah? Satu2nya jalan menemukan kebenaran itu adalah sikap ilmiah. Bertanya, temukan data, analisis dan tariklah kesimpulan sehingga mampu dipertanggungjawabkan. Apakah mahasiswa telah melakukan itu? Jawabannya adalah ya, mereka telah memiliki semua syarat itu. Namun dimana letaknya kebenaran? Kebenaran itu dgn secara terorganisir ditutupi oleh otak fundamantal fakta.

Kampus telah kehilangan sikap ilmiahx, lihat saja mahasiswa yg bertanya tentang ukt, tentang praktikum, tentang pelajaran sekalipun dgn segala dalihnya agar potensi bertanya itu dibungkam. Lihat saja mahasiswa yg ingin mengajukan data ukt, dana lk, dsb dengan mudahnya dituduh data yg keliru tanpa terlebih dulu dipahami.

Kampus telah kehilangan budaya intelektualnya. Ibarat badan yang kehilangan jiwa maka ia tdk akan punya potensi untuk bergerak (mati). Jujur terhadap data, terbuka akan kritik, diuji coba berulang2, mahasiswa telah lama siap mempertanggungjawabkan itu. Ayolah, Sekali lagi, apa betul "jangan kuliah kalau tdk punya uang"?

Selama ini, aku berpikir bahwa fundamentalisme hanya menjangkit tubuh beberapa agama, dgn tdk memberikan ruang pada penafsiran kitab suci. Ternyata, diam2 fenomena ini menjangkit institusi pendidikan. Tdk terbukanya ruang bertanya dan bertarung data sehingga melahirkan tafsir tunggal. Beginilah kebenaran akhirnya menjadi kuasa dan milik penguasa. Aku menyebutnya "fundamentalisme fakta".

Minggu, 25 Maret 2018

Indonesia Bubar 2030?

Yang sedang "menikmati" Indonesia pasti akan mengatakan itu hanya fiksi. Yang sedikit bijak menasehati kita harus waspada. Yang diluar sana lagi berpangku tangan mengamati, respon Indonesia bagaimana?

Bubar? Bukankah kata bubar hanya untuk dilekatkan pada sesuatu yang sebelumnya padat dan menyatu? Lalu tepatkah kata ini untuk Indonesia? Yang menyatu yang mana? Lalu yang bubar yang mana? Rakyatnya? Tanah kekuasaannya? Kekayaan alamnya? Nilai masyarakatnya? Atau grup bandnya? YANG MANA?

Percuma, menyatukan atau membubarkan Indonesia sama saja, toh sampai sekarang mereka betul2 nda paham Indonesia itu yang mana? Kalau yang mereka sebut Indonesia adalah yang hari ini? Dimana rakyatnya tak berdaulat, dimana tanah airnya tak lagi diperlakukan seperti Ibu, dimana pemimpinnya bermental pengemis, nilai2 masyarakat dijungkirbalikkan, Aku sarankan jangan menunggu 2030 untuk bubar.

Mungkin disitulah dengan tegas dan penuh percaya diri mereka mengatakan bahwa itu hanya fiksi. Bukan di kata "Bubar"nya, tapi untuk "Indonesia"nya.

 
biz.