Senin, 04 Juni 2018

Kesempitan Epistimologi

Bukan Prabowo maka Jokowi. Bukan Partai Tuhan maka Partai Setan. Bukan Islam maka kafir. Tidak bela Palestina maka tidak Islam. Bukan Sunni maka Syah. Jika Khilafah maka anti Pancasila. Bukan Kapital maka Komunis. Bukan NU maka Muhammadiyah. Bukan Amerika maka Cina. Bukan 1 maka 2, bukan 2 maka 1.

Kita sudah bisa menerka, kemana arah masa depan masyarakat Ilmiah ketika kesimpulan2 di atas secara sadar atau tidak menjadi pijakan bernalar manusia pada umumnya. Hebatnya lagi, kesempitan epistimologi seperti ini lebih sering kita jumpai di layar kaca atau media2 pemberita. Diucapkan dgn gamblang oleh orang2 yang di cap sebagai pemimpin. Mereka menunjukkan bahwa fundamentalisme bukan hanya menjangkit agama, namun mereka jg yang fundamental terhadap opini masing2 yg berujung pada sakralisasi ibarat mitos. Akhirnya para penikmat yang malas berpikir namun banyak berbicara secara diam2 digerogoti kesempitan itu.

Opini dengan mudah dijungkirbalikkan, orang pintar berbicara sesuai pesanan, meraup popularitas dgn mempermainkan iman. Sampai2 Kata "Tuhan" menjadi kemehahan perseorangan. Hidup menjadi sebatas hitam dan putih, sedang masih banyak kemungkinan adanya warna2 yang lain. Hidup hanya sebatas iman dan kafir, sedang masih ada munafik, fasik, dll.

Setelah 35 tahun berpuasa, beginikah cara generasi orba berbuka?

Senin, 28 Mei 2018

Fundamentalisme Fakta

Innalillahi Wainnalillahi Rajiun.
Turut berduka atas meninggalnya kawan kita, saudari Ilmi. Ia meninggal dalam keadaan mengenaskan setelah dikeroyok diseluruh bagian tubuhnya dan di buang di tempat sampah.

Ia dibunuh oleh orang yg seharusnya merawatnya, memelihara dan membesarkannya. Mengapa? Karna ia melawan, berpotensi mengungkap kebenaran, membuka aib2 jika ia diberi ruang. Akhirnya sebisa mungkin selama hidupx ia tdk pernah diperkenalkan. Kalau saudara2 blm kenal, nama lengkapnya "Ilmiah". Ia anak dari pendidikan.

Masih hangatnya "tidak usah kuliah kalau tidak punya uang" kembali berdengung di telinga kita dri sudut salah satu universitas ternama di Makassar. Mengapa sya katakan kembali? Karna memang selama ini kalimat dengan makna yang sama sudah sering kita dengar dari mulut pendusta. Itu baru yg terucap, belum terhitung dri mereka yg berpikiran sama namun hanya bergumam dalam hati.

Apakah kalimat itu benar atau salah? Satu2nya jalan menemukan kebenaran itu adalah sikap ilmiah. Bertanya, temukan data, analisis dan tariklah kesimpulan sehingga mampu dipertanggungjawabkan. Apakah mahasiswa telah melakukan itu? Jawabannya adalah ya, mereka telah memiliki semua syarat itu. Namun dimana letaknya kebenaran? Kebenaran itu dgn secara terorganisir ditutupi oleh otak fundamantal fakta.

Kampus telah kehilangan sikap ilmiahx, lihat saja mahasiswa yg bertanya tentang ukt, tentang praktikum, tentang pelajaran sekalipun dgn segala dalihnya agar potensi bertanya itu dibungkam. Lihat saja mahasiswa yg ingin mengajukan data ukt, dana lk, dsb dengan mudahnya dituduh data yg keliru tanpa terlebih dulu dipahami.

Kampus telah kehilangan budaya intelektualnya. Ibarat badan yang kehilangan jiwa maka ia tdk akan punya potensi untuk bergerak (mati). Jujur terhadap data, terbuka akan kritik, diuji coba berulang2, mahasiswa telah lama siap mempertanggungjawabkan itu. Ayolah, Sekali lagi, apa betul "jangan kuliah kalau tdk punya uang"?

Selama ini, aku berpikir bahwa fundamentalisme hanya menjangkit tubuh beberapa agama, dgn tdk memberikan ruang pada penafsiran kitab suci. Ternyata, diam2 fenomena ini menjangkit institusi pendidikan. Tdk terbukanya ruang bertanya dan bertarung data sehingga melahirkan tafsir tunggal. Beginilah kebenaran akhirnya menjadi kuasa dan milik penguasa. Aku menyebutnya "fundamentalisme fakta".

Minggu, 25 Maret 2018

Indonesia Bubar 2030?

Yang sedang "menikmati" Indonesia pasti akan mengatakan itu hanya fiksi. Yang sedikit bijak menasehati kita harus waspada. Yang diluar sana lagi berpangku tangan mengamati, respon Indonesia bagaimana?

Bubar? Bukankah kata bubar hanya untuk dilekatkan pada sesuatu yang sebelumnya padat dan menyatu? Lalu tepatkah kata ini untuk Indonesia? Yang menyatu yang mana? Lalu yang bubar yang mana? Rakyatnya? Tanah kekuasaannya? Kekayaan alamnya? Nilai masyarakatnya? Atau grup bandnya? YANG MANA?

Percuma, menyatukan atau membubarkan Indonesia sama saja, toh sampai sekarang mereka betul2 nda paham Indonesia itu yang mana? Kalau yang mereka sebut Indonesia adalah yang hari ini? Dimana rakyatnya tak berdaulat, dimana tanah airnya tak lagi diperlakukan seperti Ibu, dimana pemimpinnya bermental pengemis, nilai2 masyarakat dijungkirbalikkan, Aku sarankan jangan menunggu 2030 untuk bubar.

Mungkin disitulah dengan tegas dan penuh percaya diri mereka mengatakan bahwa itu hanya fiksi. Bukan di kata "Bubar"nya, tapi untuk "Indonesia"nya.

Senin, 15 Januari 2018

Tuhan Bersemayam di Hati para Fisikawan.

Sebagai pengantar dari tulisan ini saya ingin membandingkan dua pemikiran yang dominan di pakai oleh masyarakat khususnya di Indonesia dalam menafsirkan Al-Qur'an. Yang pertama mengatakan bahwa Al-Qur'an haruslah ditafsirkan oleh mereka yang ahli akan kaidah2 penafsiran, sehingga mereka yg tdk ahli sebaiknya bertanya kepada yg ahli (Prof, Ulama, Kyai, dsb) agar penafsiran Al-Qur'an tdk dipakai untuk kepentingan pribadi. Yang kedua mengatakan bahwa Al-Qur'an tidak diturunkan hanya untuk kelompok tertentu, tetapi kepada semua umat manusia sehingga Al-Qur'an tdk terkesan elitis. Jadi siapapun bisa mendekati Al-Qur'an dgn caranya masing2 asalkan itu bermanfaat untuk mendekatkan ia dgn Allah SWT dgn akhlak sebagai outputnya. Kelompok kedua ini lebih memakai kata "mentadabburi" dibanding memakai kata menafsirkan. Namun bukan saatnya disini menjelaskan lebih jauh mengenai mana yg pling benar dr kedua pendapat diatas. Namun dr hasil kajian, saya lebih sepakat dgn pendapat yg kedua.

"Dialah yg menjadikan bintang2 bagimu, supaya kamu pergunakan sebagai penunjuk jalan dlm kegelapan di darat dan di laut. Telah Kami jelaskan tanda2 (kebesaran) Kami bagi orang2 yang mengetahui dan paham" (QS 6:97)

"Dalam silih berganti malam dan siang, (dalam) segala yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, ada tanda2 (kebesaran-Nya) bagi orang2 yg bertaqwa (kepada-Nya)" (QS 10:6)

"Tiadakah mereka melihat burung2 terbang patuh di ruang angkasa? Tiada yg menahan kecuali Allah. Sungguh, semua itu merupakan tanda2 (kekuasaan Allah) bagi orang2 yg beriman" (QS 16:79)

"Dan di antara tanda2 (kebesaran-Nya) ialah bahwa Dia memperlihatkan kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan. Dia menurunkan hujan dari langit dan dengan itu memberi hidup kepada bumi sesudah ia mati. Sungguh, dalam yg demikian itu, ada tanda2 bukti bagi orang2 yg menggunakan akalnya" (QS 39:42).

(Buka juga QS 7:58, QS 16:13, QS 39:42)

Dari beberapa ayat di atas, kita dapat memaknai bahwa Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk senantiasa melakukan proses penelitian dalam mempelajari tanda2. Tanda2 yang dimaksudkan tak lain adalah alam semesta baik makro maupun mikro, semua itu adalah tanda2 yg menjadi objek pengkajian.

Dalam tradisi intelektual dalam kampus, pengkajian ilmiah terhadap tanda2 biasanya mempelajari tentang suatu fenomena, atau hubungan antar fenomena yang outputnya adalah data (biasanya dalam bentuk grafik dan angka2). Lebih progresif lagi jika menghasilkan pengetahuan baru atau menciptakan teknologi yg selalu terbarukan. Ada yg berguna untuk menyokong peradaban, ada pula yg menjadi senjata pemusnah peradaban.

Tanpa maksud untuk berani menafsirkan Al-Qur'an, namun jika dimaknai, sesungguhnya beberapa ayat diatas dapat menerangkan suatu proses pembelajaran dengan tradisi intelektual yg berbeda dgn cara pandang Barat.

Manusia dalam mempelajari tanda2 yg tak lain adalah simbol2, baik makro maupun mikro tidaklah boleh berhenti pada objek atau data semata. Melainkan juga tentang apa yang diterangkan atau mencoba mengetahui apa yang bersembunyi di balik objek dan data itu. Sederhananya manusia diminta untuk mengetahui isyarat atau makna yg tak tampak dan tdk terpisahkan dri suatu yg nampak.

Sya ingin memberi sebuah analogi, mahasiswa terkadang ingin mengetahui keberadaan dosen di kampus dgn memeriksa keberadaan kendaraannya. Atau ketika kita melihat taman kampus di pagi hari telah bersih berarti telah ada petugas kebersihan yg membersihkan. Artinya, keberadaan mobil memberi isyarat dan makna akan keberadaan dosen. Begitupun dgn bersihnya taman memberi isyarat dan makna akan adanya petugas kebersihan.

Sehingga mempelajari tanda2, bukan hanya ber-output pada pengetahuan baru atau teknologi yg akibatnya sperti yg kita lihat fenomena hari ini, dimana ilmuan menjadikan alam sebagai objek yg layak untuk dieksploitasi, kreatifitas yg berlebihan sehingga berujung pada kebinasaan. Namun tradisi intelektual (pendekatan pembelajaran) Islam lebih kepada menghasilkan output manusia yang mengetahui dan paham (QS: 6:97), manusia yg menggunakan akal pikiran (QS 30:24) (QS 39:42), manusia yg bersyukur (QS 7:58), manusia yg beriman (QS 16:79), dan manusia yg bertaqwa (QS 10:6). Sehingga output yg demikian menjadikan manusia memandang dirinya bagian dari alam, dan senantiasa harus dijaga dan diselaraskan.

Jika direnungkan, Allah telah menitipkan tanda2 untuk kita agar bisa mengetahui jejak-jejak dan isyarat-isyaratNya yg mengagumkan. Sesungguhnya Allah menyediakan alam agar kita lebih mudah modus kepadaNya. Meskipun pendekatan pembelajaran ini nyaris tidak ilmiah menurut takaran kampus, namun itulah yg menjadi ciri khasnya dalam menemukan makna dan hikmah yg bersifat kualitatif.

Beruntunglah para Fisikawan yg senantiasa berusaha menyingkap rahasia alam semesta sehingga Allah bersemayam dalam hatinya. Karna bukankah Nabi telah menjelaskan mengapa Allah menciptakan alam semesta "Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin diketahui. Karena itu, Aku lalu menciptakan makhluk agar Aku bisa diketahui" Hadis sahih menurut Ibn Al-Arabi.

Akhir kata Yakin Usaha Sampai.
Bahagia HMI.

Selasa, 09 Januari 2018

Bagaimana aku harus peduli?

Di kedai kopi, Cidut sedang fokus menonton berita di televisi tentang aksi yg dilakukan sebagian besar umat Islam di Jakarta, mereka menuntut agar oknum si penghina agama Islam segera dipenjarakan. Salah satu pimpinan aksi berorasi "saudara2 sekalian, kt berkumpul di tempat ini karna kita peduli dgn agama Islam, cinta agama Islam" orator itu menutupnya dengan berteriak takbir. Tiba2 temannya yg jg orang Jakarta menyela, "peduli apanya?, saya sekarang di Makassar krn mengadu nasib, rumahku digusur pemerintah yg bekerja sma dgn swasta, penghidupanku di teluk Jakarta berhenti karna reklamasi teluk Jakarta. Hasil laut sudah tidak ada, mereka yg senasib dgnku semuanya Islam, kami merasa dihina, tapi tdk pernah mereka yg di TV itu datang untuk membela, mengapa mereka tdk marah seperti marahnya hari ini? Mudah2an mereka tdk menganggap kami bukan bagian dr Islam". Cidut hanya terdiam.

Cidut lalu memeriksa HPnya yg bergetar, ternyata ada pesan singkat dr temannya di sebuah grup WA yg isinya tentang ajakan untuk peduli Muslim Rohingya dan Palestina sebagai saudara yg membutuhkan pertolongan. Bisa berupa pakaian, uang, ataukah beras, dan akan dibantu oleh pemerintah. Ia kemudian meneruskan pesan itu ke grup WA lainnya. Tapi salah satu temannya dr Papua berkomentar "kami sangat bersyukur dgn masyarakat Indonesia yg peduli, tapi salahkah jika kami cemburu? Kami slalu dikatakan terbelakang, makanan kadang tak cukup, adek2 kami jarang yg memakai pakaian. Tapi tdk pernahkah anda peduli seperti pedulinya anda ke mereka. Semoga kami tetap dianggap saudara". Cidut lagi2 tak mampu membalas.

Di perjalanan pulang ke rumah, ia mendapati jalanan macet akibat aksi LSM yg memprotes kegiatan Kongres Ormas terbesar di Indonesia yg menghabiskan dana APBN 5 Miliar hanya dalam 3 hari. Ormas berpendapat bahwa sebaiknya dana sebesar itu digunakan untuk bantuan masyarakat sekitar yg nyatanya sangat membutuhkan. Pimpinan Ormas mencoba menemui massa aksi, ia mencoba untuk membela diri "kami datang berkumpul disini dri seluruh pelosok tanah air, selama 3 hari kami merembukkan solusi dr permasalahan bangsa hari ini. Kalau anda berpikir sperti itu sama saja kalau kita katakan, lebih baik pemerintah tdk usah bangun sekolah, kantor, rumah sakit, atau biaya kunjungan luar negri. Mending semuanya untuk bantuan ke masyarakat". Hanya itu yg sempat Cidut simak krna segera ia melewati kemacetan itu.

Ia pulang ke rumah dgn membawa sekelumit pertanyaan. Tak lama berselang stelah ia sampai di rumah datang seorang ibu sambil menggendong anaknya yg masih kecil. Ibu itu memohon kepada Cidut "nak, kasihani kami. Berapapun uang atau apapun yg bisa disumbangkan kepada saya". Ibu Cidut yg jg melihat pengemis itu segera masuk ke dapur mengambil beras dan memasukkannya ke kantongan untuk disumbangkannya ke pengemis itu. "Kami tdk punya uang, tapi hanya ini yg bsa kami sumbangkan. Semoga bermanfaat untuk kamu dan anakmu" Ucap ibunya. Stelah berterima kasih pengemis itu kemudian pergi.

Seketika Cidut merasa menemukan jawaban dr keresahannya. Ia menceritakan semua peristiwa yg dilalaluinya hari ini kepada ibunya. Ibunya kemudian berpesan, "Nak, hidup ini kompleks. Pengemis td adalah contoh kemiskinan rakyat kita. Seharusnya menjadi kewajiban dan tugas dr pemerintah untuk memberi solusi. Kalau orang kecil seperti kita apakah wajib atau bertugas membantu? Kita memang tdk wajib tapi bukan berarti tidak boleh membantu. Pedulilah sesuai ukuran kemampuan kita. Yg salah adalah ketika itu tugas dan tanggung jawab kita dan mampu namun kita tdk perduli. Tdk salah jika kamu membela Islam, membela yg di gusur, membela Rohingya dan Palestina, membela Papua, ataukah membela rakyat miskin selama itu tugas kamu dan mampu. Maka itu jadilah pmimpin bangsa agar kamu bisa memikirkan semuanya. Jangan hanya meresmikan infrastruktur atau bagi2 sepeda, krn tugas seperti itu yg bukan pmimpin pun bisa."


Senin, 08 Januari 2018

Memanusiakan Manusia??

Cidut anak desa. Dibesarkan dr orang tua yg tdk mengenal sekolah. Namun orang tuanya tdk mau Cidut seperti mereka.

Alhasil Cidut disekolahkan dr SD sampai SMA di sekitar rumahnya. Cidut bertanya, ya tujuannya sekolah apa? Orang tuanya menjawab, supaya kamu jd anak yg berpendidikan, pintar, baik, dan bisa jadi anak yg berguna. Begitulah harapan orang tua pada umumnya.

Singkat cerita, begitu mudah Cidut memperoleh peringkat pertama mulai dri SD sampai SMA. Dia menjadi siswa yg dipuji, baik dr guru, orang tua, bahkan penduduk desa.

Tpi ada yg membuat Cidut risih, dia merasa menjadi siswa yg mendapat perlakuan spesial. Mulai dri mendapatkan perhatian guru yg berbeda dr teman lainnya. Begitu pula masyarakat. Dia merasa tidak enakan dgn teman kelasnya yg dianggap bodoh sehingga kadang diacuhkan, bahkan tidak sedikit dari temannya yg dikeluarkan atau diberhentikan. Entah itu krna alasan tdk mampu bersaing ataukah karna kenakalannya. Maka sekolah swasta adalah tempat pelarian temannya yg terbuang, dimana ijazah dapat didapatkan dgn jalan instan. Diperparah dgn penduduk desa yg melarang anaknya bergaul dgn mereka yg terbuang, dianggapnya mereka seakan2 sampah masyarakat.

Keresahan Cidut memuncak pada saat dia mengikuti tes untuk masuk SMA, teman baiknya tidak diterima lantaran nilai tesnya tidak memenuhi syarat. Krn terlanjur minder dan merasa bodoh, orang tua temanx memutuskan untuk segera menikahkannya dan membantunya bekerja.

Cidut mulai berpikir, jikalau sekolah seperti yg digambarkan orang tuanya, lantas mengapa yg dianggap nakal dan bodoh diacuhkan? Bukankah memang tugasnya sekolah untuk memanusiakan manusia? Jikalau teman2x diacuhkan, baik sekolah atau masyarakat, siapa yg harus memperhatikan mereka? Ataukah sekolah memang hanya berlomba2 mencari nama baik sehingga yg berpotensi merusak citra sekolah harus ditolak?

Dia mulai bertanya2, yg manakah betul2 sekolah? Ada yg dengan biaya mahal dgn iming2 keluaran siswanya lebih unggul. Bagaimana dgn yg miskin? Apakah mereka krna keterbatasan akses pendidikan sehingga tdk bisa diakatakan unggul? Cidut hanya bergumam. Tak berani ia bercerita.

Karna merasa anaknya cerdas, orang tua Cidut memutuskan untuk melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi terkenal. Cidut hanya menurut apa yg diingini orang tuanya.

Tapi bukan Cidut kalau dalam pikirannya tidak slalu bertanya2. Salah satu dosennya yg jg Profesor terkenal sering bercerita di sela2 perkuliahan, bahwa IPK lulusan2 terdahulu bahkan dosen2 yg mengajar saat ini hanya sedikit yg mampu mencapai angka 2,50. Beda halnya dengan lulusan2 saat ini yg bahkan sampai 4.00. Cidut mulai heran, apakah dgn angka itu dia bsa berkesimpulan bahwa mahasiswa kini lebih cerdas dr Profesor atau dosennya saat mereka masih mahasiswa? Seharusnya dgn angka itu jawabannya adalah iya. Namun Cidut belum begitu yakin.

Sering sekali Cidut membaca informasi dunia kerja yg mencamtumkan IPK minimal 3,0 sbgai persyaratan untuk diterima. Apakah itu di perusahaan2, di Bank, tenaga pendidik, beasiswa S2, ataukah di instansi pemerintah. Cidut mulai bertanya2 kepada para orang tua atau mereka yg telah lebih dlu bekerja. Apakah aturan itu telah ada sejak dulu ataukah baru beberapa tahun berlaku? Jawabnya adalah baru beberapa tahun.

Cidut sangat tertampar, jangan2 nilai lulusan hari ini hanya tergantung dr pesanan dunia kerja. Karna dunia kerja menerapkan standar, akhirnya universitas pun harus mengikuti standar. Kapan tidak mengikuti, berarti sama sja membiarkan lulusan mereka tidak mampu bersaing dgn dunia kerja yg tentunya akan berimbas pada nama baik universitas. Bisa2 akreditasi diturunkan, dan peminat mulai berkurang. Sehingga Cidut berani bertaruh, jika saja dunia kerja menetapkan standar 4,0 sbagai persyaratan, yakin dan percaya lulusan pun rata2 akan keluar dgn IPK 4,0. Cidut mulai tdk percaya dgn angka yg didapatkannya selama ini. Baik itu saat SMA ataukah saat kuliah. Jangan2 angka itu bukan murni karna kualitas dirinya, tapi semata2 karna persolan nama baik sekolah dan universitas.

Tapi Cidut hanya menerka, ia belum begitu yakin dgn kesimpulannya. Meski terus diserang idealisme dalam dirinya, ia tetap melanjutkan studinya, kalaupun sekolah tidak menjadikannya manusia, paling tidak ia ingin membahagiakan orang tuanya, syukur2 kalau dapat kerja. Menurutnya hanya itulah tujuan sekolah hari ini. Memanusiakan manusia? Mari kita bermimpi


 
biz.