Di kedai kopi, Cidut sedang fokus menonton berita di televisi tentang aksi yg dilakukan sebagian besar umat Islam di Jakarta, mereka menuntut agar oknum si penghina agama Islam segera dipenjarakan. Salah satu pimpinan aksi berorasi "saudara2 sekalian, kt berkumpul di tempat ini karna kita peduli dgn agama Islam, cinta agama Islam" orator itu menutupnya dengan berteriak takbir. Tiba2 temannya yg jg orang Jakarta menyela, "peduli apanya?, saya sekarang di Makassar krn mengadu nasib, rumahku digusur pemerintah yg bekerja sma dgn swasta, penghidupanku di teluk Jakarta berhenti karna reklamasi teluk Jakarta. Hasil laut sudah tidak ada, mereka yg senasib dgnku semuanya Islam, kami merasa dihina, tapi tdk pernah mereka yg di TV itu datang untuk membela, mengapa mereka tdk marah seperti marahnya hari ini? Mudah2an mereka tdk menganggap kami bukan bagian dr Islam". Cidut hanya terdiam.
Cidut lalu memeriksa HPnya yg bergetar, ternyata ada pesan singkat dr temannya di sebuah grup WA yg isinya tentang ajakan untuk peduli Muslim Rohingya dan Palestina sebagai saudara yg membutuhkan pertolongan. Bisa berupa pakaian, uang, ataukah beras, dan akan dibantu oleh pemerintah. Ia kemudian meneruskan pesan itu ke grup WA lainnya. Tapi salah satu temannya dr Papua berkomentar "kami sangat bersyukur dgn masyarakat Indonesia yg peduli, tapi salahkah jika kami cemburu? Kami slalu dikatakan terbelakang, makanan kadang tak cukup, adek2 kami jarang yg memakai pakaian. Tapi tdk pernahkah anda peduli seperti pedulinya anda ke mereka. Semoga kami tetap dianggap saudara". Cidut lagi2 tak mampu membalas.
Di perjalanan pulang ke rumah, ia mendapati jalanan macet akibat aksi LSM yg memprotes kegiatan Kongres Ormas terbesar di Indonesia yg menghabiskan dana APBN 5 Miliar hanya dalam 3 hari. Ormas berpendapat bahwa sebaiknya dana sebesar itu digunakan untuk bantuan masyarakat sekitar yg nyatanya sangat membutuhkan. Pimpinan Ormas mencoba menemui massa aksi, ia mencoba untuk membela diri "kami datang berkumpul disini dri seluruh pelosok tanah air, selama 3 hari kami merembukkan solusi dr permasalahan bangsa hari ini. Kalau anda berpikir sperti itu sama saja kalau kita katakan, lebih baik pemerintah tdk usah bangun sekolah, kantor, rumah sakit, atau biaya kunjungan luar negri. Mending semuanya untuk bantuan ke masyarakat". Hanya itu yg sempat Cidut simak krna segera ia melewati kemacetan itu.
Ia pulang ke rumah dgn membawa sekelumit pertanyaan. Tak lama berselang stelah ia sampai di rumah datang seorang ibu sambil menggendong anaknya yg masih kecil. Ibu itu memohon kepada Cidut "nak, kasihani kami. Berapapun uang atau apapun yg bisa disumbangkan kepada saya". Ibu Cidut yg jg melihat pengemis itu segera masuk ke dapur mengambil beras dan memasukkannya ke kantongan untuk disumbangkannya ke pengemis itu. "Kami tdk punya uang, tapi hanya ini yg bsa kami sumbangkan. Semoga bermanfaat untuk kamu dan anakmu" Ucap ibunya. Stelah berterima kasih pengemis itu kemudian pergi.
Seketika Cidut merasa menemukan jawaban dr keresahannya. Ia menceritakan semua peristiwa yg dilalaluinya hari ini kepada ibunya. Ibunya kemudian berpesan, "Nak, hidup ini kompleks. Pengemis td adalah contoh kemiskinan rakyat kita. Seharusnya menjadi kewajiban dan tugas dr pemerintah untuk memberi solusi. Kalau orang kecil seperti kita apakah wajib atau bertugas membantu? Kita memang tdk wajib tapi bukan berarti tidak boleh membantu. Pedulilah sesuai ukuran kemampuan kita. Yg salah adalah ketika itu tugas dan tanggung jawab kita dan mampu namun kita tdk perduli. Tdk salah jika kamu membela Islam, membela yg di gusur, membela Rohingya dan Palestina, membela Papua, ataukah membela rakyat miskin selama itu tugas kamu dan mampu. Maka itu jadilah pmimpin bangsa agar kamu bisa memikirkan semuanya. Jangan hanya meresmikan infrastruktur atau bagi2 sepeda, krn tugas seperti itu yg bukan pmimpin pun bisa."
Selasa, 09 Januari 2018
Bagaimana aku harus peduli?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar