Senin, 08 Januari 2018

Memanusiakan Manusia??

Cidut anak desa. Dibesarkan dr orang tua yg tdk mengenal sekolah. Namun orang tuanya tdk mau Cidut seperti mereka.

Alhasil Cidut disekolahkan dr SD sampai SMA di sekitar rumahnya. Cidut bertanya, ya tujuannya sekolah apa? Orang tuanya menjawab, supaya kamu jd anak yg berpendidikan, pintar, baik, dan bisa jadi anak yg berguna. Begitulah harapan orang tua pada umumnya.

Singkat cerita, begitu mudah Cidut memperoleh peringkat pertama mulai dri SD sampai SMA. Dia menjadi siswa yg dipuji, baik dr guru, orang tua, bahkan penduduk desa.

Tpi ada yg membuat Cidut risih, dia merasa menjadi siswa yg mendapat perlakuan spesial. Mulai dri mendapatkan perhatian guru yg berbeda dr teman lainnya. Begitu pula masyarakat. Dia merasa tidak enakan dgn teman kelasnya yg dianggap bodoh sehingga kadang diacuhkan, bahkan tidak sedikit dari temannya yg dikeluarkan atau diberhentikan. Entah itu krna alasan tdk mampu bersaing ataukah karna kenakalannya. Maka sekolah swasta adalah tempat pelarian temannya yg terbuang, dimana ijazah dapat didapatkan dgn jalan instan. Diperparah dgn penduduk desa yg melarang anaknya bergaul dgn mereka yg terbuang, dianggapnya mereka seakan2 sampah masyarakat.

Keresahan Cidut memuncak pada saat dia mengikuti tes untuk masuk SMA, teman baiknya tidak diterima lantaran nilai tesnya tidak memenuhi syarat. Krn terlanjur minder dan merasa bodoh, orang tua temanx memutuskan untuk segera menikahkannya dan membantunya bekerja.

Cidut mulai berpikir, jikalau sekolah seperti yg digambarkan orang tuanya, lantas mengapa yg dianggap nakal dan bodoh diacuhkan? Bukankah memang tugasnya sekolah untuk memanusiakan manusia? Jikalau teman2x diacuhkan, baik sekolah atau masyarakat, siapa yg harus memperhatikan mereka? Ataukah sekolah memang hanya berlomba2 mencari nama baik sehingga yg berpotensi merusak citra sekolah harus ditolak?

Dia mulai bertanya2, yg manakah betul2 sekolah? Ada yg dengan biaya mahal dgn iming2 keluaran siswanya lebih unggul. Bagaimana dgn yg miskin? Apakah mereka krna keterbatasan akses pendidikan sehingga tdk bisa diakatakan unggul? Cidut hanya bergumam. Tak berani ia bercerita.

Karna merasa anaknya cerdas, orang tua Cidut memutuskan untuk melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi terkenal. Cidut hanya menurut apa yg diingini orang tuanya.

Tapi bukan Cidut kalau dalam pikirannya tidak slalu bertanya2. Salah satu dosennya yg jg Profesor terkenal sering bercerita di sela2 perkuliahan, bahwa IPK lulusan2 terdahulu bahkan dosen2 yg mengajar saat ini hanya sedikit yg mampu mencapai angka 2,50. Beda halnya dengan lulusan2 saat ini yg bahkan sampai 4.00. Cidut mulai heran, apakah dgn angka itu dia bsa berkesimpulan bahwa mahasiswa kini lebih cerdas dr Profesor atau dosennya saat mereka masih mahasiswa? Seharusnya dgn angka itu jawabannya adalah iya. Namun Cidut belum begitu yakin.

Sering sekali Cidut membaca informasi dunia kerja yg mencamtumkan IPK minimal 3,0 sbgai persyaratan untuk diterima. Apakah itu di perusahaan2, di Bank, tenaga pendidik, beasiswa S2, ataukah di instansi pemerintah. Cidut mulai bertanya2 kepada para orang tua atau mereka yg telah lebih dlu bekerja. Apakah aturan itu telah ada sejak dulu ataukah baru beberapa tahun berlaku? Jawabnya adalah baru beberapa tahun.

Cidut sangat tertampar, jangan2 nilai lulusan hari ini hanya tergantung dr pesanan dunia kerja. Karna dunia kerja menerapkan standar, akhirnya universitas pun harus mengikuti standar. Kapan tidak mengikuti, berarti sama sja membiarkan lulusan mereka tidak mampu bersaing dgn dunia kerja yg tentunya akan berimbas pada nama baik universitas. Bisa2 akreditasi diturunkan, dan peminat mulai berkurang. Sehingga Cidut berani bertaruh, jika saja dunia kerja menetapkan standar 4,0 sbagai persyaratan, yakin dan percaya lulusan pun rata2 akan keluar dgn IPK 4,0. Cidut mulai tdk percaya dgn angka yg didapatkannya selama ini. Baik itu saat SMA ataukah saat kuliah. Jangan2 angka itu bukan murni karna kualitas dirinya, tapi semata2 karna persolan nama baik sekolah dan universitas.

Tapi Cidut hanya menerka, ia belum begitu yakin dgn kesimpulannya. Meski terus diserang idealisme dalam dirinya, ia tetap melanjutkan studinya, kalaupun sekolah tidak menjadikannya manusia, paling tidak ia ingin membahagiakan orang tuanya, syukur2 kalau dapat kerja. Menurutnya hanya itulah tujuan sekolah hari ini. Memanusiakan manusia? Mari kita bermimpi


TSAURI

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

 
biz.